Sudah tak asing
lagi bagi bangsa Indoneisa, betapa Bapak Proklamator kita Ir.Soekarno
sangat bersahaja dalam mengenakan pakaian , terutama atribut
kebesarannya.. Apapun yang dikenakan serasa pas di badan dan berwibawa.
Ada satu cirri khas yang tak kan pernah tergantikan oleh zaman yaitu pemakaian
Peci yang berwarna Hitam (Peci Hitam) atau dibeberapa daerah disebut
Kopiah yang selalu dikenakan baik di acara kenegaraan maupun kunjungan internasional.
Lalu Peci hitampun menyebar seantero nusantara dan bahkan sampai ke
mancanegara, Setiap orang Indoensia bepergian ke luar negeri , maka peci hitam
lah yang menjadi trade mark anak bangsa.
Lalu bagaimana dengan
saat ini ? Meski di beberapa Negara tetangga khususnya bangsa melayu Peci sudah
tak asing lagi dalam khasanah budaya melayu. Peci konon berasal dari
bahasa Belanda pet (topi) dan je (kecil),
disebut juga dengan kopiah atau songkok. Diperkirakan peci ini dibawa oleh para
pedagang Arab ke semenanjung Malaysia pada abad ke-13. Tak heran kemudian
penggunaan peci ini kemudian membudaya di Indonesia, Brunei, Malaysia,
Singapore, serta beberapa wilayah di Filipina dan Thailand.
Lagi-lagi kita ketahui
bersama bahwa di Indonesia, penggunaan peci sebagai bagian dari pakaian resmi
dipelopori oleh presiden pertama RI Soekarno. Pada suatu rapat Jong Java di
Surabaya pada tahun 1921 Bung Karno mencetuskan ide mengenai pentingnya sebuah
symbol bagi kepribadian bangsa Indonesia. Karena itulah Bung Karno lalu
memperkenalkan pemakaian peci yang kemudian menjadi identitas resmi bagi
partainya yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia). Dan karena popularitas
Soekarno-lah sehingga kemudian pemakaian peci begitu memasyarakat di Indonesia.
Lalu pertanyaannya
kemana Peci Hitam yang membuat bangga sebagai warga negara Indonesia.
Anak muda sebagai generasi penerus bangsa saat ini jarang kita lihat memakai
peci hitam, kecuali di kalangan santri (pesantren ) saja. Beberapa di kenakan
oleh laki-laki berumur dan sebagaian kecil dipakai ketika ke masjid (acara
keagamaan) saja atau hanya dipakai pada saat resepsi pernikahan. Ah yang
penting pakai bukan?
Peci Hitam sebagai
salah satu budaya Indonesia dan menurut saya ini adalah paling Indonesia selain
dari Pakaian Batik yang sekarang mendunia dan sebagai warisan budaya milik
Bangsa tercinta ini. Tidak terlepas dari keberagaman budaya daerah lainnya.
Peci tidak hanya berfungsi sebagai penutup rambut waktu sholat saja oleh
umat Muslim, tapi telah menjadi identitas bangsa tanpa memandang agama suku dan
ras. Para pemimpin dan pejabat sekarang ini sudah mulai enggan memakai mahkota
Nusantara itu. Apakah ini pertanda kalau bangsa kita sudah mulai kehilangan
budaya dan jati dirinya. Kopiah (Peci) paling hanya dipakai saat pelantikan dan
even-even tertentu saja seperti foto gambar ,pelantikan pejabat dan acara resmi
lainnya.
Tutup kepala yang terbuat dari
beludru warna gelap dengan ketinggian antara 6-12 cm ini, ada yang mengatakan,
bila dipandang dari segi bentuk merupakan modifikasi antara torbus Turki dengan
peci India. Ada pula yang menyatakan bahwa kopiah memang asli kreasi nusantara.
Penutup kepala, entah apakah bentuknya sama seperti kopiah-kopiah Indonesia
sekarang, memang telah ada sejak dulu kala.
Yang jelas, menurut sejarah pada awal
pergerakan Nasional 1908-an, kebanyakan para aktivis masih memakai daster dan
tutup kepala blangkon, yang lebih dekat ke tradisi priyayi dan aristokrat.
Seiring meluasnya gerakan sama rata sama rasa dan penolakan terhadap feodalisme
-paham dan pola sikap yang mengagung-agungkan pangkat dan jabatan tanpa
mengagungkan prestasi kerjanya- termasuk dalam berpakaian dan berbahasa, tokoh
idola panutan kaum pergerakan waktu itu, Tjokroaminoto yang sering berkopiah,
dengan sendirinya kopiah menjalar di kalangan aktifis, termasuk muridnya,
Soekarno.
Sejak saat itu kopiah yang
semula merupakan tradisi pesantren dijadikan sebagai songkok nasional,
identitas ke Indonesiaan, yang dipelopori kaum pergerakan. Ada yang bilang,
berkat pesona seorang Soekarno, para aktivis dan priyayi waktu itu mulai
menggunakan kopiah. Di samping menjadi simbol Islamisme, kopiah waktu itu juga
sebagai simbol patriotisme dan nasionalisme, yang mampu membedakan mana priyayi
pro rakyat dan priyayi kolaborator Belanda.
Pada Muktamar NU ke 10 di
Banjarmasin, saat Nahdlatul Ulama (NU) mulai sangat aktif melibatkan diri untuk
merespon perkembangan dunia luar, baik nasional maupun internasional. NU
mengakui Nasioalisme Hindia Belanda dan mulai memperbolehkan warganya memakai
pantaloon (celana panjang), namun identitas kesantrian harus tetap terlihat.
Salah satu bentuknya adalah memakai kopiah, sehingga masih bisa dibedakan
dengan kolonial Belanda.
Namun kini, kopiah bukan hanya
identifikasi bagi seorang muslim, pembeda dengan penjajah, patriotisme, ataupun
simbol nasionalisme. Lihat saja upacara–upacara pelantikan pejabat Negara,
meskipun dia bukan seorang muslim, tidak sedikit yang memakai penutup berbahan
beludru ini. Sering pula kita saksikan, bahkan kebanyakan, para perusak Negara
memakai kopiah ketika tersudut di depan meja hijau. Berubah fungsikah?.
Permasalahan kopiah seperti di
atas mestinya ‘menghina’ kecerdasan kita sebagai muslim, khususnya kalangan
pesantren. Bagaimana mungkin cuma dengan modal kopiah, orang sudah dipercaya
‘pindah agama’. Segampang itukah? Bagaimana bisa ketaatan beragama hanya
muncul sebagai penutup kepala, sebuah keputusan yang perlu dipertanyakan.
Tapi, mari kita hargai keputusan
ini, sebab kita memang masyarakat yang gampang ditipu. Apalagi bila tipuan itu
memuat unsur-unsur yang kita suka, simbol dan atribut, kopiah misalnya.
Begitu besar minat kita pada
atribut, keindahan kemasan, hingga mendorong orang dengan mudahnya merubah
kepribadian. Jika ia telah berdandan sedemikian rupa, merasa telah menjadi
orang bertakwa. Untuk menjadi seorang nasionalis, kita cukup hanya dengan
mengganti nama saja dan kalau mau jadi seniman, orang cukup bermodal
memanjangkan rambut dan mengacak-acak dandanan.
Begitulah, zaman telah begini
maju, tapi kita masih dengan mudahnya tertipu dengan ‘merek’. Bila kita
tidak segera berbenah, jangan heran bila ke depan makin banyak kita temui para
penipu.
Untuk mewaspadai hal itu, mulai
sekarang kita harus menekan ambisi yang kelewatan atas sebuah simbol dan atribut.
Perlu juga ada semacan penelaahan kembali oleh setiap muslim. Bagi kalangan
pesantren, tentu penelaahan tentang perkopiahan juga perlu ada penekanan,
karena ketika imej sebuah kopiah telah tercoreng, secara tidak langsung
pesantrenpun terkena imbasnya.
Kalangan Islam
pesantren mewajibkan tidak hanya kalangan santri tapi pemeluk Islam pada
umumnya untuk selalu memakai tutup kepala yang digunakan sebagai bentuk
kewiraian atau kezuhudan seseorang, atau minimal sebagai bentuk kelaziman.
Kitab Ta’limulmuta’alim misalnya sangat menekankan untuk selalu memakai tutup
kepala dalam kehidupan. Oleh pesantren tidak diterjemahkandalam bentuk sorban
atau tutup kepala lainnya, tetapi diwujudkan dalambentukkopiah.
Oleh karena itu santri tidak pernah melepas peci, demikian juga saat menjalankan sembahyang masyarakat Islam selalu menggunakan kopiah, dianggap kurang utama bila menangalkannya. Bahkan santri yang berani menanggalkan kopiah disebut dengan santri gundul (tidak memakai tutup kepala) dan itu kemudian diidentikkan dengan santri badung yang sering melangar tatakrama, aturan dan pelajaran. Dengan demikian salah satu bentuk tradisi pesantren adalah tradisi memakai kopiah hingga saat ini, walaupun beberapa pesantren modern mulai meningalkannya.
Oleh karena itu santri tidak pernah melepas peci, demikian juga saat menjalankan sembahyang masyarakat Islam selalu menggunakan kopiah, dianggap kurang utama bila menangalkannya. Bahkan santri yang berani menanggalkan kopiah disebut dengan santri gundul (tidak memakai tutup kepala) dan itu kemudian diidentikkan dengan santri badung yang sering melangar tatakrama, aturan dan pelajaran. Dengan demikian salah satu bentuk tradisi pesantren adalah tradisi memakai kopiah hingga saat ini, walaupun beberapa pesantren modern mulai meningalkannya.
Penggunaan kopiah sebagai
identitas kiai itu semakin marak sejalan dengana semakin meluasnya Islam baik
oleh para wali dan ulama maupun kiai di berbagai tempat, sehingga mereka yang
sudah santri itu meneguhkan identitasnya dengan emakai kopiah berwarna hitam
itu. Ada kesepakatan tidak tertulis bahwa bagi santri atau orang Islam yang
belum menunaikan ibadah haji tidak diperkenankan memakai peci haji. Karena itu
bila ada orang belum haji tentu sangat malu dan dicela ketika memakai peci haji
warna putih. Mereka itu tahu adat dengan demikian mereka tetap mengunakan peci
hitam.
Peci Hitam sebagai
salah satu budaya Indonesia dan menurut saya ini adalah paling Indonesia selain
dari Pakaian Batik yang sekarang mendunia dan sebagai warisan budaya milik
Bangsa tercinta ini. Tidak terlepas dari keberagaman budaya daerah lainnya.
Peci tidak hanya berfungsi sebagai penutup rambut waktu sholat saja oleh
umat Muslim.
Dulu, sangat mudah
kita jumpai orang yang menggunakan kopiah. Hampir semua orang tua memiliki
kopiah. Bisa jadi, saat itu adalah masa-masa kejayaannya, pergi solat,
pengajian, kondangan, kenduri, ambil rapot disekolah, rapat RT, kepasar atau
kerja bagi guru dan PNS. Hampir semuanya, ditemani dengan kopiah. Kopiah bahkan
bisa jadi sebuah identitas atau lambang kebaikan dan kesolehan bagi pemakainya.
Malu rasanya melakukan hal yang tak patut ketika dikepala masih terpasang
kopiah hitam. Karena menjadi sebuah lambang kesolehan itulah, maka jangan
heran, banyak pengemis, peminta sumbangan dan bahkan penjahat yang sedang
disidang kompak rame-rame pakai kopiah dalam menjalankan perannya. Mungkin
dipikirnya orang akan tersentuh melihat orang soleh yang sedang kesusahan, atau
pak hakim akan sedikit berfikir ulang ketika akan menjatuhkan vonis bagi
sipenjahat yang kelihatan soleh dari tampang luarnya.
Dibalik perannya yang
bermacam-macam, kopiah juga menyimpan fungsi rahasia bagi para orang tua jaman
dulu, yaitu; sebagai penyimpan uang kertas dan sebagai tempat menyelipkan rokok
sisa acara kenduri kampung. Atau, bisa berubah fungsi jadi tempat
nampung jeruk, duku, salak dan macam-macam jajan pasar, sepulang dari acara
yasinan .
Kini kopiah sudah
mulai jarang kita lihat. Jangan-jangan, popularitasnya meredup seiring turunnya
Soeharto dari tampuk kekuasaan. Jika diurut dari awal, dugaan saya; jaman
Soekarno-lah era keemasan kopiah. Kegarangan Soekarno diatas mimbar, semakin
terlihat khas dan berkarakter dengan kopiah hitam kokoh dikepalanya. Tidak ada
salahnya, orang Asia Tenggara harusnya berterimakasih kepada Soekarno, karena
sedikit banyak, Soekarno ikut andil mempopulerkan kopiah ke mancanegara, yang
membuat kopiah seakan lekat menjadi identitas Indonesia, Melayu dan Asia
Tenggara pada umumnya. Terlepas kopiah mendapat pengaruh dari budaya Islam
jaman Utsmani, dan juga dikenal dibeberapa negara timur tengah, kopiah
Indonesia tentu punya ciri khas berbeda yang tidak bisa dipersamakan dengan
yang lainnya. Disaat negeri jiran Malaysia masih belum merdeka, Indonesia,
Soekarno dan kopiahnya, sudah malang melintang di jagat politik internasional.
Foto Soekarno dan
kopiahnya seolah jadi satu paket yang tak terpisahkan, seperti foto Hasan Al
Bana, tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir yang juga selalu berkopiah hitam mirip
dengan Soekarno, atau Agus Salim, tokoh nasional yang mempunyai cirikhas
janggut panjang di kebanyakan foto-fotonya
Kini, kopiah benar-benar
kehilangan pamornya, setelah Soekarno dan Soeharto telah tiada. Penerusnya,
tidak ada yang pas dengan tampilan kopiahnya, Presiden Habibi, sedikit miring
dalam menggunakan kopiah, Megawati tidak mungkin pakai kopiah, Gus Dur lebih
sering pakai kopiah anyaman, dan SBY tidak konsisten dalam penampilannya,
kadang kopiah, kadang tidak, malah kelihatan lebih sering tidak menggunakannya.
Maka, yang diingat dari SBY bukan kopiah hitamnya, tapi kacamata besar yang
bermodel mirip Hu Jiantao Presiden China.
Kini, dalam sebuah solat jumat,
aku perhatikan hanya beberapa orang saja yang masih setia dengan penutup kepala
ini. Itupun kebanyakan dipakai oleh generasi yang sudah tidak muda, ubanan dan
maaf, sedikit batuk-batuk karena faktor usia. Tren kopiah sudah digeser dengan
penutup kepala yang warna warni, simple, bisa dilipat dan disaku ketika tidak
digunakan.
Diteras rumah, aku menerawang jauh
kebelakang, sepasang kopiah hitam yang baru aku beli kemarin, mengingatkan
kopiah almarhum bapakku dulu yang sudar pudar warnanya, dan mengingatkan aku
juga pada kopiah pemberian bapak sebagai hadiah sunatanku dulu.
Ah, sungguh sedih
rasanya, bahkan aku belum sempat membelikan kopiah untuk bapakku. Pakne..,
melalui kopiah ini, aku teringat tentangmu, tersayat-sayat rasanya hatiku,
mengingat kopiahmu. Sungguh, bukan maksudku untuk tak ingin membelikanmu.
Maafkan aku Pakne, engkau meninggalkanku sebelum aku mampu berbuat banyak
untukmu. Dengan kopiah ini, aku dan cucumu berdoa untuk kebaikan njenengan
disana.
0 komentar:
Posting Komentar