Perempuan
berderajat lebih rendah daripada laki-laki - inilah anggapan umum yang berlaku
sekarang ini tentang kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Anggapan ini
tercermin dalam prasangka-prasangka umum, seperti "seorang istri harus
melayani suami", "perempuan itu turut ke surga atau ke neraka bersama
suaminya", dll. Prasangka-prasangka ini mendapat penguatan dari struktur
moral masyarakat yang terwujud dalam peraturan-peraturan agama dan adat.
Lagipula, sepanjang ingatan kita, bahkan nenek-moyang kita, keadaannya memang
sudah begini.
Tapi anggapan
ini adalah anggapan yang keliru. Para ahli antropologi sudah menemukan bahwa
keadaannya tidaklah selalu demikian.
Dalam
masyarakat Indian Iroquis, misalnya, kedudukan perempuan dan laki-laki
benar-benar setara. Bahkan, semua laki-laki dan perempuan dewasa otomatis
menjadi anggota dari Dewan Suku, yang berhak memilih dan mencopot ketua suku.
Jabatan ketua suku dalam masyarakat Indian Iroquis tidaklah diwariskan,
melainkan merupakan penunjukan dari warga suku melalui sebuah pemilihan
langsung yang melibatkan semua laki-laki dan perempuan secara setara. Keadaan
ini berlangsung sampai jauh ke abad ke 19.
Dalam
masyarakat Jermania, ketika mereka masih mengembara di luar perbatasan dengan
Romawi, berlaku juga keadaan yang sama. Kaum perempuan mereka memiliki hak dan
kewajiban yang setara dengan kaum laki-lakinya. Peran yang mereka ambil dalam
pengambilan keputusanpun setara karena setiap perempuan dewasa adalah juga
anggota dari Dewan Suku.
Demikian pula
yang berlaku di tengah suku-suku Schytia dari Asia Tengah. Di tengah mereka,
bahkan perempuan dapat diangkat menjadi prajurit dan pemimpin perang.
Namun jika kita
cermati lebih lanjut, masyarakat-masyarakat di mana kedudukan perempuan dan
laki-laki benar-benar setara ini adalah masyarakat nomaden, yang mengandalkan
perburuan dan pengumpulan bahan makanan sebagai sumber penghidupan utama
mereka. Suku-suku Indian Iroquis sudah mulai bertanam jagung, namun masih dalam
bentuk sangat sederhana. Demikian pula yang berlaku di tengah masyarakat
Jermania dan Schytia. Pertanian, bagi mereka, hanyalah pengisi waktu ketika
hewan-hewan buruan mereka sedang menetap di satu tempat. Data-data arkeologi
bahkan menunjukkan bahwa pertanian primitif ini hanya dikerjakan oleh kaum
perempuan sebagai pengisi waktu senggang, dan tidak dianggap sebagai satu hal
yang terlalu penting untuk dapat dikerjakan oleh seluruh suku secara
bersama-sama.
Namun, ketika
berbagai masyarakat manusia menggeser prikehidupannya ke arah masyarakat
pertanian, seluruh struktur masyarakatpun berubah. Termasuk di antaranya
hubungan antara laki-laki dan perempuan.
0 komentar:
Posting Komentar